Masyarakat adat telah diakui memiliki peranan dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta mengatasi perubahan iklim.
Contohnya masyarakat hukum adat Mului di pedalaman Kabupaten Paser, Kalimantan
Timur. Komunitas itu sudah diakui sebagai masyarakat adat pada 2018,
atau yang pertama diakui pemerintah di Kaltim. Dengan total penduduk 123
jiwa, warga mengelola hutan adat seluas 7.722 hektar. Dari hutan yang terjaga, kebutuhan dasar warga dapat terpenuhi. Air diambil dari sungai yang jernih. Kebutuhan pangan didapat dari ladang dan hutan. Asupan gula dari madu hutan dan kebutuhan protein hewani dari berburu dan menjala ikan. Saat bertani, mereka juga bersahabat dengan alam. Tidak ada pupuk kimia disebar di sana. Dengan sistem ladang berpindah, warga membuka lahan dengan dibakar. Sisa pembakaran itu yang diper caya menyuburkan tanah. Setelah panen, mereka akan berpindah ke lahan lain. Hal itu dilakukan sembari menunggu lahan lama meremajakan diri. Tandanya, tumbuh rerumputan dan pohon-pohon liar kecil. Ketika membangun rumah, mereka mengambilnya dari pohon di sekitar hutan adat. Warga ketat membatasi penebangan pohon untuk kebutuhan sehari-hari. Semua harus sesuai kesepakatan adat. Pohon berdiameter kurang dari 60 sentimeter, misalnya, tidak boleh ditebang. Kayu khas penting sangat dijaga, seperti ulin, meranti, kapur, ruwali, rungur, jelutung, sungkai, bajur, dan mayas. Dengan semua perlakuan itu, mereka menjaga alam tetap asri tanpa takut kelaparan. (Kompas, 16 Desember 2023)
Sayangnya, sebagian dari warga adat masih kesulitan mengakses layanan dasar, seperti kesehatan, pendidikan, hingga infrastruktur.
Akan tetapi, kontribusi menjaga hutan itu tetap saja tidak cukup. Perlakuan ramah mereka pada alam belum sebanding dengan hak warga mendapatkan kemudahan hidup di masa sekarang. Warga Mului, misalnya, masih kesulitan mengakses beragam akses publik. Jalan ke kampung masih terjal, becek, dan berbatu. Untuk menuju pusat kecamatan, tempat layanan dasar berada, mereka mesti menghabiskan waktu tiga jam menggunakan sepeda motor. Hal itu membuat warga kesulitan. Lianto Mahesa Dani (21), yang menikah dengan warga Mului dan menetap di kampung tersebut, merasakan keterbatasan itu. Saat Umi (23), istrinya, hendak melahirkan beberapa bulan lalu, ia mesti menjemput bidan dengan sepeda motor ke pusat kecamatan. Itu satu-satunya cara yang bisa dia lakukan. Tidak ada sinyal telepon dan internet di kampung itu. ”Untung bayi dan ibunya sehat, jadi enggak perlu dibawa ke rumah sakit,” kata pria yang akrab disapa Dani itu, Selasa (21/11/2023). Dani termasuk beruntung. Beberapa tahun lalu, warga kampung berduka. Seorang warga Mului yang didera sakit dengan gejala malaria meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit. Beberapa warga juga belum menerapkan sanitasi yang baik di rumahnya. Mereka masih terbiasa mencuci piring di dapur. Sisa makanan dibuang begitu saja di sekitar dapur yang masih berupa rumah panggung. Akibatnya, sisa makanan dan air menggenang. Baunya mengundang satwa liar men- dekati rumah. Tidak heran, warga kerap menemukan ular di dapur mereka. Kondisi itu juga berpotensi membuat bakteri berkembang di sekitar rumah. Dapur menjadi bau dengan aroma sisa makanan yang membusuk. Mereka butuh semacam pendampingan untuk menerapkan pola hidup bersih dan sehat. Hal itu juga menjadi tantangan bagi warga Mului yang ingin mengembangkan wisata alam khusus di hutan adat. Belum ada rumah warga yang bisa dijadikan tempat menginap dengan nyaman untuk tamu dari luar kampung. ”Selama ini, kalau ada tamu banyak, mereka tinggal di rumah singgah. Di sana ada dua kamar,” ucap Jahan (55), warga Mului. Rumah singgah kayu itu dibangun dari dana pemerintah daerah setempatUntuk akses pendidikan juga memprihatinkan. Mului hanya punya satu sekolah dasar (SD). Sekolah setingkat sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) hanya ada di pusat kecamatan. Akibatnya, angka putus sekolah pun tinggi. Perhimpunan Padi Indonesia yang mendampingi warga Mului mencatat, pada 2020 ada 73 tidak tamat SD, enam tamat SMP, dan tak ada yang tamat SMA. Baru ada satu lulusan SMA di kampung itu pada tahun 2023. (Kompas, 16 Desember 2023)
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim Saiduani Nyuk mengatakan, banyak masyarakat adat lain di Kaltim bernasib serupa. Mereka berkontribusi mempertahankan hutan, tetapi tak kunjung diberi perlindungan hukum berupa pengakuan. Banyak di antara komunitas adat itu juga sulit mendapat akses layanan dasar. Padahal, masyarakat Mului dan masyarakat adat lain punya andil dalam prestasi Kaltim memperoleh dana perdagangan karbon. Sejak awal tahun 2023, Pemprov Kaltim mengumumkan mendapat dana dalam program Forest Carbon Partnership Facility Carbon Fund (FCPF-CF). Program ini diinisiasi sejak 13 tahun lalu dan merupakan bagian kontrak dari Bank Dunia. Pemprov Kaltim mencatat, dana yang diterima Rp 69,15 miliar sebagai pembayaran di muka dari total 110 juta dollar AS (setara Rp 1,7 triliun, kurs Rp 15.633 per dollar AS). Total nilai itu setara anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) perubahan satu kabupaten di Kaltim. Komunitas adat yang tergabung di AMAN Kaltim ada 77 komunitas adat. Di luar itu, ada banyak komunitas adat yang belum teridentifikasi dan terdata. Padahal, banyak di antara mereka yang terlibat konflik dengan perusahaan demi mempertahankan hutan adat yang belum diakui pemerintah. ”Seharusnya mereka juga bisa menikmati dana karbon yang diterima Kaltim untuk layanan dasar mereka dan perlindungan ruang hidup,” kata Saiduani. (Kompas, 16 Desember 2023)
Sumber: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/12/12/masyarakat-adat-penjaga-hutan-yang-sulit-akses-layanan-dasar