Wednesday, 18 September 2019

Sejarah Perkembangan Prospek Perkebunan Kelapa Sawit

Kelapa sawit (E. guineensis) merupakan tumbuhan yang hidup secara liar, semi-liar atau dibudidayakan di tiga area utama tropis khatulistiwa: Afrika, Asia Tenggara dan Amerika Selatan dan Tengah. Sebagian besar dari penyebaran ini merupakan hasil perpindahan oleh manusia. Terdapat bukti fosil, historis dan linguistik yang menunjukan bahwa, kelapa sawit berasal dari Afrika.

Pada tahun 1848 pohon kelapa sawit dibawa ke Asia Tenggara, dimana diketahui empat bibit dibawa dan ditanam di pulau Jawa yang saat itu bernama Hindia Belanda, tepatnya di daerah Bogor (dahulu Buitenzorg). Di Indonesia, benih dari empat pohon yang awalnya ditanam di Bogor didistribusikan secara luas. Sawit awalnya digunakan terutama sebagai tanaman hias, tetapi upaya eksperimental pemeliharaan untuk memperoleh nilai ekonomi telah dimulai pada awal 1860. Salah satunya berada di Deli di Sumatra, yang kemudian diambil menjadi nama untuk bibit ini.

Pada tahun 1911, perkebunan besar pertama di Sumatra telah ditanam dengan bibit Deli Palms. Industri Sumatra berkembang pesat menjadi 31.600 ha pada tahun 1925. Pada tahun 1940an, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 110.000 ha, setelah Perang Dunia II dan kemerdekaan, perkebunan di Sumatra berkembang secara lambat. Pada tahun 1956, area yang ditanami hanya meningkat 15% daripada tahun 1940 diiringi hasil panen yang rendah setiap hektarnya.

Pada akhir 1960-an, area tanaman pohon di Indonesia diorganisasi menjadi kelompok perkebunan besar Perusahaan Nasional Perkebunan (PNP/  sekarang menjadi PTPN) di bawah kepemilikan pemerintah. Tujuh di antaranya memiliki 90.000 ha pada tahun 1971 di Sumatra dan 36.000 ha lainnya dipegang oleh perusahaan swasta. Selama awal 1970-an, ada suntikan modal besar oleh Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia ke dalam PNP, dan pada tahun 1985, area yang ditanami lebih dari 500.000 ha (Taniputra et al., 1988). Skema petani kecil juga dimulai, dan Indonesia telah mendukung sektor petani kecilnya dengan kuat, termasuk harga dukungan jaminan untuk TBS yang dipasok oleh petani kecil.

Pada 1991, sektor perkebunan swasta adalah yang terbesar, tetapi bentuk lainnya masih substansial. Baru-baru ini, banyak modal asing telah diinvestasikan ke Indonesia dimana sebagian besarnya berasal dari Malaysia. Produksi Indonesia tumbuh relatif lambat sampai akhir 1980-an tetapi setelah itu tumbuh dengan cepat. Sejak 1980, area yang ditanami telah meningkat lima kali lipat pada tahun 1991 dan lebih dari enam kali lipat pada tahun 2000. Ini termasuk meluasnya sebaran perkebunan ke pulau Kalimantan dan Sulawesi. Industri ini mengalami kemunduran dari krisis keuangan pada tahun 1998 dan ketidakstabilan politik yang mengikutinya, tetapi dalam dekade terakhir, area yang matang telah berlipat ganda menjadi 6,5 juta ha pada tahun 2012 (Oil World, 2013). Euforia kegembiraan yang ditimbulkan dari meledaknya ekonomi kelapa sawit telah menyebabkan perencanaan yang buruk, dan menampakan kebutuhan tanah yang cocok untuk penanaman kelapa sawit yang efisien sering diabaikan dalam mengatasi masalah keuangan.

Boom di industri minyak sawit sangat menakjubkan. Produk dari kelapa sawit - minyak sawit mentah, minyak inti sawit, tepung inti sawit, dan turunannya - sangat serbaguna. Selain digunakan secara luas sebagai minyak goreng, juga dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk industri makanan, kosmetik, dan kimia dan sebagai pakan ternak. Indonesia dan Malaysia bersama-sama menyumbang lebih dari 80 persen produksi global dan Eropa adalah salah satu pasar terbesar mereka.

Pertimbangan utama adalah meningkatnya protes internasional dalam beberapa tahun terakhir terhadap penebangan hutan untuk pembangunan kelapa sawit.

Lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia tumbuh dua kali lipat menjadi sepuluh juta hektar antara tahun 1995 dan 2005. Perluasan perkebunan kelapa sawit adalah komponen kunci dari strategi pemerintah untuk pengembangannya.  Grup perusahaan dari Malaysia dan Singapura mendapat manfaat dari privatisasi perkebunan yang sebelumnya dikelola pemerintah, dan dari lokasi lahan besar di perbatasan hutan Sumatra dan Kalimantan.

Ekspansi kelapa sawit telah menjadi salah satu, meskipun bukan faktor terbesar, dalam kerusakan yang terjadi pada hutan Indonesia dalam beberapa dekade terakhir.

Sumber :
R.H.V. Corley, P.B. Tinker, 2016, The Oil Palm, Fifth edition, Blackwell Science.
Oliver Pye, Introduction, dalam Oliver Pye & Jayati Bhattacharya, 2013, The Palm Oil Controversy in Southeast Asia A Transnational Perspective, Springer, hlm.1
Pablo Pacheco, et al., The palm oil global value chain: Implications for economic growth and social and environmental sustainability, CIFOR, Working Paper 220, 2017, Bogor, Indonesia.

Komoditas perkebunan telah menjadi andalan pendapatan dan devisa negara Indonesia. Sebagai negara yang juga dikenal dengan negara agraris, wajarlah kita mengandalkan komoditas perkebunan dan pertanian sebagai andalan pembangunan.
Nilai ekspor komoditas perkebunan, pada Tahun 2015 total ekspor perkebunan mencapai US$ 23,933 milyar atau setara dengan Rp. 311,138 triliun (asumsi 1 US$=Rp.13.000).
Salah satu sektor utama perkebunan adalah kelapa sawit.

Hasil utama dari kelapa sawit adalah Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO). Namun saat ini minyak kelapa sawit dan bahan-bahan berbasis kelapa sawit dapat ditemukan di hampir 50% dari produk umum konsumend dan telah menyebar di seluruh dunia, misalnya produk makanan seperti roti kemasan, sereal sarapan, margarin, coklat, es krim, biskuit, makanan ringan dan berbagai produk kecantikan. Ini juga digunakan dalam produk rumah tangga, sampo, krim, sabun, lipstik, lilin dan biofuel untuk mobil dan pembangkit listrik. Wajarlah diperkirakan, apabila permintaan akan minyak sawit akan cenderung mengalami peningkatan.

Tanaman kelapa sawit memiliki masa hidup ekonomi sekitar 25-30 tahun, buah berproduksi sepanjang tahun (Barcelos et al. 2015). Ini menghasilkan sekitar 3,8 ton per hektar (ton/ha) pertahun sebagai rata-rata global, 6 ton/ha di perkebunan terbaik di Asia Tenggara dan 10 ton/ha secara genetik uji coba lapangan (Rival dan Levang 2014). Kelapa sawit telah dilabeli sebagai "mesin minyak alami" (Saingan dan Levang 2014) karena produktivitasnya yang relatif tinggi dalam kaitannya dengan tanaman oleaginous lainnya (miskedelai, bunga matahari dan rapeseed (Barcelos et al. 2015). Kelapa sawit memiliki biaya produksi terendah dari semua minyak nabati di pasar komoditas global, dan dapat memenuhi permintaan global yang diperkirakan tumbuh mencapai 240 juta ton pada tahun 2050 (Corley 2009).

Monday, 16 September 2019

Kebakaran Hutan dan Lahan - Ulah dan Penyebab

Kebakaran hutan tropis basah di Indonesia diketahui terjadi sejak abad ke-19 yakni di kawasan antara Sungai Kalanaman dan Cempaka (sekarang Sungai Sampit dan Kantingan), Kalteng yang rusak akibat kebakaran hutan tahun 1877. Laporan lain menyebutkan kebakaran hutan terjadi di wilayah timur laut yang kini dikenal sebagai Suaka Danau Sentarum, Kalbar. Seiring dengan meningkatnya intensitas campur tangan manusia pada hutan, jumlah kebakaran juga meningkat.

Menurut "KEYAKINAN" Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Dony Monardo kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 99 persen akibat ulah manusia.
Sedangkan faktor lainnya adalah "termasuk El Nino lemah hanyalah penyebab saja," ujarnya saat rapat koordinasi dengan jajaran Pemerintah Provinsi Kalteng di Bandara Tjilik Riwut Palangka Raya, Minggu, 4 Agustus 2019.
(Sumber : Surya Sriyanti, "Kepala BNPB: Kebakaran Hutan 99 Persen Ulah Manusia", Media Indonesia, 05 Agustus 2019)

Sayangnya belum terdapat data atau penelitian yang secara komprehensif dalam memaparkan secara rinci ulah dan penyebab karhutla di Indonesia.
Negara kita memang sudah terbiasa didasarkan atas ASUMSI semata. Sehingga wajarlah jika Karhutla akan terus berlangsung... Hanya keajaian saja yang mungkin dapat mengatasinya. YAKIN pokoknya.
Namun beberapa temuan telah memberikan penyebab "terkuat" dari karhutla, yaitu karena penerapan metode "slash and burn" dalam kegiatan pembukaan lahan oleh perusahaan dan masyarakat.

Sedangkan karhutla terbesar dari segi luasan lahan yang terbakar di tahun 1997, menurut hasil studi UNDP dan kementerian Negara Lingkungan hidup disebabkan oleh faktor kompleks seperti kebijakan yang tidak tepat, kurangnya teknologi alternatif, lemahnya partisipasi masyarakat dan diperburuk oleh perubahan dan fluktuasi iklim. Pada tahun 1997, Asap yang ditimbulkan bukan saja mempengaruhi hampir 20 juta penduduk di Kalimantan dan Sumatera, tetapi juga mempengaruhi negara tetangga di Asia Tenggara yakni Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussallam.

Baca :

Pembukaan lahan dengan cara membakar, memang telah menjadi salah satu metode pembukaan lahan yang lazim diterapkan sejak dahulu.
Murahnya metode ini, menjadi salah satu pemicu utama, selain karena telah menjadi suatu kebiasaan atau adat istiadat.

Sedangkan perusahaan,

Kesejateraan Karhutla... Bagi2 dana APBN...
Dony menerangkan BNPB sudah mengalokasikan dana bagi 1.512 personel yang diterjunkan untuk memadamkan karhutla di Kalteng. Dengan rincian, setiap orang mendapatkan Rp145 ribu per hari.

Saturday, 14 September 2019

Standar CSR - UN Global Compact

Global Compact Initiative diumumkan oleh Sekretaris Jenderal PBB saat itu Kofi Annan di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, pada Januari 1999, dan secara resmi diluncurkan di Markas Besar PBB pada Juli 2000. Global Compact tidak hanya mengizinkan keikutsertaan perusahaan multinasional saja, tetapi juga diperuntukan untuk lembaga pemerintahan, kota, institusi akademik, LSM dan organisasi buruh, untuk menandatangani sepuluh prinsip yang diterima secara universal di bidang hak asasi manusia, standar perburuhan, lingkungan dan anti korupsi. 
Sepuluh Prinsip adalah bahwa perusahaan harus:
1) mendukung dan menghormati perlindungan hak asasi manusia yang diproklamirkan secara internasional dalam lingkup pengaruhnya;
2) memastikan bahwa mereka tidak terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia;
3) menjunjung tinggi kebebasan berserikat dan pengakuan efektif atas hak untuk melakukan perundingan bersama;
4) menjunjung tinggi penghapusan segala bentuk kerja paksa dan kerja wajib;
5) menjunjung tinggi penghapusan pekerja anak secara efektif;
6) menghilangkan diskriminasi sehubungan dengan pekerjaan dan pekerjaan;
7) mendukung pendekatan pencegahan terhadap tantangan lingkungan;
8) melakukan inisiatif untuk mempromosikan tanggung jawab lingkungan yang lebih besar;
9) mendorong pengembangan dan difusi teknologi ramah lingkungan; dan
10) bekerja melawan semua bentuk korupsi, termasuk pemerasan dan penyuapan.

Sepuluh prinsip tersebut bersumber dari empat instrumen hukum internasional yang paling penting (karena diterima secara universal), yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (the Universal Declaration of Human Rights); Deklarasi Organisasi Perburuhan Internasional tentang Prinsip dan Hak Fundamental di Tempat Kerja (the International Labour Organization’s Declaration on Fundamental Principles and Rights at Work); Deklarasi Rio 1992 tentang Lingkungan dan Pembangunan (the Rio Declaration on Environment and Development); dan Konvensi PBB Menentang Korupsi (the United Nations Convention Against Corruption). Lebih lanjut Global Compact memberikan peran fasilitasi yang berharga, dengan mengintegrasikan ketentuan hukum internasional tersebut dan menyaringnya menjadi bentuk yang mudah dicerna. Kemudian dikembangkan menjadi sebuah panduan praktis untuk manajer perusahaan, misalnya Guide for Integrating Human Rights into Business Management yang disajikan sesuai dengan proses bisnis dalam bahasa yang ramah manajemen, bukan dalam bahasa hukum internasional.

Dengan berpartisipasi dalam Global Compact perusahaan setuju untuk memasukkan sepuluh prinsipnya ke dalam operasi mereka sehari-hari dan melaporkan secara publik tentang implementasinya, misalnya dalam laporan tahunan. Persyaratan asli untuk melapor langsung ke Sekretariat Global Compact setiap tahun diganti pada tahun 2005 dengan persyaratan pelaporan publik. Salah satu komitmen eksplisit yang dibuat oleh perusahaan ketika bergabung dengan Global Compact adalah untuk menyerahkan Communications on Progress (COP) tahunan menggunakan indikator pelaporan seperti Pedoman GRI. COP harus ditempatkan di situs web Global Compact PBB dan dibagikan secara luas dengan pemegang saham perusahaan. Selain memperkenalkan persyaratan pelaporan publik, Global Compact Integrity Measures memperketat aturan tentang penggunaan logo UN ke logo Global Compact dan juga memperkenalkan mekanisme pengaduan untuk pertama kalinya.
Pelanggaran terhadap Kebijakan Compact Global tentang COP akan mengakibatkan perubahan dalam status peserta dari “aktif” menjadi “tidak berkomunikasi” untuk kemudian “tidak aktif”, dan pada akhirnya menghasilkan penghapusan daftar peserta. Pada Oktober 2009, lebih dari 1.000 perusahaan telah dihapuskan dari situs web Global Compact, dan sebagian besar dari yang tersisa diberi label memiliki having Status COP Non-komunikasi.
Berdasarkan update terakhir (30 Maret 2019) pada halaman situs Global Compact, tercatat 9.997 perusahaan terdaftar dari 162 negara dan 61.248 laporan keberlanjutan.  Seluruh partisipasi terdaftar ada 13585 entitas, dimana sebanyak 82 entitas, yang terdiri atas perusahaan, universitas, yayasan, konsultan dan NGO yang berasal dari Indonesia,.